Poso – Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Sulawesi Tengah bersama Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sulawesi Tengah gelar Seminar Hasil Riset Pemetaan dan Penyusunan Profil Megalith yang ada di Kabupaten Poso. Bertempat di Aula Bappelitbang Kab. Poso. Kamis (29/08/2024).

Seminar tersebut di buka oleh Bupati Poso yang diwakili Plt. Asisten III Bidang Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Poso, Murniati Putosi. Turut hadir pula dalam kegiatan tersebut perwakilan perangkat daerah lingkup Kab. Poso, perwakilan Camat Lore Utara, Lore Tengah dan Lore Barat, guru bid. Sejarah pada SMA dan SMP Kab. Poso, serta perwakilan Polres Kab. Poso.

Dalam sambutannya, Murniati Putosi, mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Sulawesi Tengah yang telah melaksanakan riset “Pemetaan dan Penyusunan Profil Megalit” di kawasan situs cagar budaya Lore Lindu di Kabupaten Poso.

Selain kaya akan potensi megalit, kawasan Lore Lindu juga sangat kaya akan vegetasi endemik, yang pada saat ini masih sangat kurang dilakukan riset di kawasan tersebut. Potensi yang ada tersebut memiliki nilai ilmu pengetahuan yang sangat tinggi tetapi belum dapat dimaksimalkan khususnya untuk potensi kepariwisataannya.

Kawasan megalit Lore Lindu berada pada lokasi yang tersebar luas dan sulit dipantau/dijangkau, maka pada kesempatan tersebut, Murniati Putosi, menekankan kepada semua pihak untuk turut serta dalam menjaga kelestarian dan keberadaan situs yang ada.

“Untuk menjaga kelestarian dan menjaga keberadaan situs tersebut tentunya tidak cukup dengan keterlibatan pemerintah saja, namun juga perlu keterlibatan stakeholder lainnya untuk menjaganya” umgkap Murniati.

Dalam pemaparan hasil riset yang dijelaskan oleh, Haliadi Sadi, selaku ketua TACB Sulawesi Tengah mengungkapjan bahwa riset deskripsi dan pemetaan megalithikum di Kab. Poso ini dilatar belakangi atas lima poin, yaitu UU Nomor 11 tahun2010 tentang Cagar budaya, UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, potensi megalithikum sebagai cagar budaya dan peradaban Sulawesi Tengah, Peletak Dasar Sejarah dan Kebudayaan Sulawesi Tengah serta Pencangan Prov. Sulteng Seribu Megalithikum pada 10 oktober 2023.

Penelitian tentang megalithikum sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1898 oleh Nicolaus Adriani dan Albertus Cristiaan Kruyt. Adriani dan Kruyt melaporkan tinggalan megalitik di kawasan ini didalam buku yang berjudul “Van Poso naar Parigi en Lindoe”. Selain itu pada 1908, Kruyt juga menulis artikel dengan judul “Nadere gegevens bettrevvende deoudheden aangetroffen in het lanschaap Besoa”.

Situs megalith di Sulawesi Tengah sendiri tersebar di empat kawasan yaitu Lembah Behoa dengan luas 477,146 Ha, Lembah Bada dengan luas 50,093 Ha, Lembah Napu dengan luas 135,049 Ha, dan Lembah Palu dan Lindu dengan luas 30,119. Adapun Luas Situs keseluruhan dari keempat kawasan cagar budaya yaitu 692,407 Ha.

Haliadi menyebutkan, sampai tahun ini tinggalan arkeologi yang berhasil diidentifikasi sebanyak kurang lebih 2014 buah benda, yang terdiri dari 26 jenis artefak dan tersebar pada 118 situs di empat kawasan yang berbeda. Dari ke empat kawasan ini, hanya Situs Pokekea yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional dan memiliki SK Penetapan dari Kepmenbudpar No : KM 11/PW 007 / MPK 2003.

Persebaran di Lembah Behoa saat ini ditemukan 31 permukiman megalitik, dan 7 permukiman kuno, dengan luasan sekitar 350 ha. Sedangkan situs-situs yang telah di ekskavasi baru sebanyak 7 situs megalitik, yaitu; Situs Tadulako, Pada Hadoa, Ntowera, Pokekea, Wineki, Halu Tawe dan Pada Lalu.

Haliadi menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok masyarakat pendukung megalithik itu sendiri, seperti To Huku ( di atas desa Wanga), To Makumba (diatas desa Siliwanga), To Malibubu (Sebelah Barat desa Watutau, sebelah utara desa Betue), To Urana ( Sebelah Timur desa Talabosa).

Kelompok-kelompok masyarakat pendukung megalithik berikutnya yaitu To Beau (sebelah selatan desa watutau/ sebelah timur desa Betue), To Atuloi (Sebelah utara desa DodolOo), To Beloka (Sebelah Timur desa Tamadue), To Kapa (Sebelah Selatan desa Tamadue) dan To Wawowula (Sebelah Selatan desa Tamadue).

“Ada banyak lagi kelompok-kelompok masyarakat yang belum diiventarisir tetapi bukti pemukimaqn ditatas bukit/gunung masih ada bekasnya sampai sekarang ini” imbuh Haliadi.

Selanjutnya, Haliadi juga menyebutkan beberapa potensi nilai yang terkandung dalam cagar budaya yang ada di Sulawesi Tengah yaitu nilai ilmu kebumian seperti geologi, geomorfologi, dan geografi, nilai arkeologi, nilai sejarah, nilai keanekaragaman hayati, nilai kepercayaan dan yang terpenting adalah nilai kebudayaan.

Tidak hanya kebudayaan megalitikum, dalam kawasan-kawasan ini pula ditemukan kebudayaan tembikar yang terbuat dari tanah pada ekskavasi arkeologi di Situs Watunongko, tahun 1998. Selanjutnya, didalam tembikar tersebut ditemukan batu yang merupakan alat pembuat kain kulit kayu pada ekskavasi di Situs Watunongko Lembah Napu, 1999.

Kesimpulan dari hasil riset ini,Haliadi, mnejelaskan bahwa penelitian yang bersambung sejak tahun 1898 hingga tahun 2018 yang dilakukan oleh peneliti luar negeri dan peneliti dalam negeri membuktikan bahwa selama kurang lebih 120 tahun terbukti bahwa Benda Cagar Budaya (BCB) Sulawesi Tengah masih bertambah dari tahun ke tahun.

Hasil penenlitian dari ke empat lembah yang ada, dapat djelaskan bahwa Lembah Behoa didentifikasi tinggalan arkeologi sebanyak 825 buah yang tersebar di 32 situs, Lembah Bada didentifikasi tinggalan arkeologi sebanyak 186 buah yang tersebar di 35 situs, Lembah Napu didentifikasi tinggalan arkeologi sebanyak 752 buah yang tersebar di 28 situs, dan Lembah Palu serta Lindu berhasil didentifikasi tinggalan arkeologi sebanyak 244 buah yang tersebar di 21 situs.

Persebaran Benda Cagar Budaya (BCB) Sulawesi Tengah di empat lembah juga menentukan dua tapak jejak sejarah yakni tapak jejak sejarah kebudayaan “de steenhouwers” (pemecah batu) dan tapak jejak sejarah kebudayaan “de pottenbakkers” (pembuatan tembikar) yang terjadi pada kurang lebih 831 SM – 232 SM (599 tahun).

Sumber: PPID Brida Prov. Sulteng.

Brida Sulteng Gelar Seminar Hasil Riset Pemetaan dan Penyusunan Profil Megalith di Kab. Poso

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *