Kolonodale – Dalam rangka mengembangkan pariwisata berbasis budaya dan sejarah, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Universitas Tadulako gelar Seminar Hasil Riset Lukisan Tapak Tangan Prasejarah di Kabutapen Morowali Utara (Morut). Bertempat di Ruang Pola Kantor Bupati Kabupaten Morowali Utara. Selasa (27/08/2024).
Seminar tersebut dibuka oleh Bupati Morowali Utara yang diwakili oleh Asisten II Bidang Pemerintahan Setdakab. Morowali Utara, Ridwan Nonci. Turut hadir pula Kepala Bappelitbang Kab. Morowali Utara, forkopimda Kab. Morut, perwakilan perangkat daerah lingkup Pemerintah Kab. Morut, perwakilan Camat Petasia, Lurah Baholue, perwakilan Kepala Desa Ganda-ganda, serta Guru Sejarah di pada SMA dan SMP di Kolonodale.
Dalam sambutannya, Ridwan Nonci, mengungkapkan rasa apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terkhusus Brida Prov. Sulteng yang telah melaksanakan Riset “Jejak Tapak Tangan Manusia Prasejarah” yang terletak di Goa Ganda-ganda, Kec. Petasia, Kab. Morowali Utara.
Urgensi pelaksanaan riset ini umumnya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan juga digunakan dalam meningkatkan pemahaman tentang peradaban manusia pada masa lalu. Adanya riset ini juga diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal melalui pariwisata, dengan memberikan kesempatan bagi pengusaha lokal, pelaku pariwisata, dan pekerjaan terkait lainnya.
Saat ini, terdapat 5 (lima) titik lokasi tapak tangan di Kec. Petasia, yaitu; tapak tangan ganda-ganda yang berada di Desa Topohulu, tapak tangan gili lana yang terdapat di gunung batu putih, tapak tangan goa air yang terdapat di Desa Gili Lana, tapak tangan pingia yang terdapat di Wilayah Tanjung Uge, dan tapak tangan Pulau Balasika yang terdapat di Desa Tana Uge.
“Karena lokasi tapak tangan tersebut berada di lokasi yang tersebar dan sulit dijangkau, maka untuk menjaga keberadaan situs tersebut tidak cukup dengan keterlibatan Pemerintah saja, akan tetapi perlunya keterlibatan stakeholder lainnya” ungkap Ridwan Nonci.
Terdapat beberapa upaya kolaboratif yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian situs jejak tapak tangan tersebut antara lain; perlunya keterlibatan swadaya masyarakat melalui pembentukan kelompok sadar wisata di masing-masing wilayah, perlunya pihak swasta khususnya perusahaan tambang yangberoperasi disekitar wilayah situs diharapkan untuk mematuhi prosedur penambangan sehingga tidak merusak situs tersebut, perlunya aparat penegak hukum memberikan hukuman yang maksimal terhadap piha-pihak yang sengaja merusak situs jejak tapak tangan, serta keterlibatan anggota dewan dalam pengalokasian anggaran pokok pikiran dalam pelestarian situs jejak tapak tangan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, wisatawan domestik maupun manca negara sudah banyak berkunjung dalam rangka melihat lukisan tapak tangan tersebut. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa lukisan tapak tangan ini pada dasarnya dapat memikat wisatawan untuk menjadikannya sebagai objek kunjungan wisata maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
“Saya sangat berharap kepada perangkat daerah yang mengurusi kebudayaan dan kepariwisataan segera menyikapi hasil rekomendasi riset ini. Selain sebagai cerminan peradaban masyarakat Morut, juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui kegiatan kepariwisataan” tutupnya.
Dalam materi yang dibawakan oleh, Haliadi Sadi, selaku peneliti riset tersebut mengungkapkan bahwa lukisan tapak tangan atau yang dikenal juga dengan sebutan hand stensil yang ada di Morut ini merupakan sebuah obyek diduga cagar budaya (ODCB) dan dilindungi oleh dua undang-undang yakni UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya dan UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Jika dilihat dari perspektif sejarah, seni batu cadas adalah bagian dari kehidupan manusia purba yang masuk pada kategori masa perubahan dari masa berburu dan meramu makanan ke masa bercocok tanam yang cirinya hidup di gua. Diberbagai penelitian tentang seni batu cadas ditemukan kebanyakan mereka membuat hand stensil (telapak tangan), binatang, serta tumbuhan termasuk bunga. Adapun hand stensil yang ditemukan di Morowali Utara terutama di Ganda-ganda yaitu telapak tangan yang ada ditebing batu.
Dalam laporan inventarisasi cagar budaya tahun 2015 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, disebutkan bahwa ditemukan gambar cadas berupa cap tangan berwarna merah di Situs Tebing Batu Putih sebanyak 6 (enam) buah. Selanjutnya di Situs Pengia dengan kondisi gambar yang sulit dikenali karena telah terkikis, serta di Situs Ganda-ganda sebanyak 5 (lima) buah gambar tangan. Ketiga situs tersebut berupa tebing cadas yang secara administratif termasuk kedalam wilayah Kec. Petasia, Kab. Morowali Utara.
“Dari hasil penelitian yang kami lakukan, gambaran batu cadas yang ada di Morut ini berupa hand stensil yang dapat diartikan bahwa masyarakat kuno di Morowali menyisakan tanda hand stensil yang menggambarkan bahwa mereka telah secara sadar membangun keluarga dan memulai sejarah seni di cadas Morowali” ungkap Haliadi.
Selanjutnya, dari pemaparan yang jelaskan oleh, Ismail, selaku anggota tim penelitian situs tersebut menjelaskan bahwa terdapat manusia pendukung peradaban masyarkat Morowali yang juga berkaitan dengan adanya situs lukisan tapak tangan ini, yaitu Ras Australomelanesid dan Ras Mongoloid.
Keberadaan masyarakat etnik Mori di Sulawesi Tengah secara antropologi fisik memiliki karakter fenotip yang kuat dengan unsur Australomelanesid dengan sedikit ciri Mongoloid (selatan). disisi lain, masyarakat ini menggunakan bahasa Mori yang tergolong kedalam kelompok bahasa Bungku-Laki, dan dianggap masih serumpun dengan bahasa-bahasa Filipina Selatan.
Fenomena ini mendedikasikan adanya perkawinan campur antara populasi asli Australomelanesid dan pendatang Austronesia yang berciri fenotip Mongoloid (selatan) sehingga menghasilkan populasi etnik Mori. Sebelum penutur Austronesia datang ke Sulawesi Tengah. Wilayah ini dihuni oleh ras Australomelanesid, yang merupakan manusia modern awal masa praaksara. Namun hingga saat ini bukti berupa rangka manusia berkarakter ras tersebut belum ditemukan, tetapi dapat dipastikan bahwa bekas-bekas tinggalan arkeologis itu ada.
Pemaparan hasil riset tersebut, kemudian ditutup dengan penjelasan terkait potensi wisata alam dari lukisan tapak tangan yang dijelaskan oleh, Zainuddin Badollahi, yang juga anggota tim penelitian dari riset ini. Zainuddin mengungkapkan bahwa keunikan dan nilai sejarah dari jejak tapak tangan ini menjadikan Goa Topogaro sebagai destinasi heritage tourism yang potensial.
Salah satu tantangan dari pelestarian situs lukisan tangan ini yaitu kerusakan akibat faktor alam seperti proses erosi batu dan pertumbuhan lumut didinding goa yang dapat merusak lukisan tersebut seiring waktu. Dalam pelestariannya, perlunya dilakukan dokumentasi digital sehingga dapat diakses dan dipelajari tanpa harus langsung mengunjungi situs ini.
Zainuddin Badollahi juga mengungkapkan bahwa untuk memastikan keberhasilan pelestarian, diperlukan strategi yang berkelanjutan dengan melibatkan kolaborasi antara pemerintah, peneliti dan masyarakat lokal. Dengan pengembangan pariwisata berbasis budaya dan sejarah, situs ini menawarkan potensi besar untuk mendukung perekonomian lokal.
“Situs lukisan tangan ini bisa menjadi daya tarik wisata yang mendatangkan pengunjung, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitar melalui pemandu wisata, penjual kerajinan tangan, dan restoran lokal” lanjutnya.
Sumber: PPID Brida Prov. Sulteng.